Konsep Ikhlas dalam Al-Qur‘An
Ketika berbicara tentang ikhlas maka tidak lepas dari pembahasan niat tulus dari dalam hati, melakukan perbuatan tanpa pamrih dan hanya mengharapkan ridha Allah semata. Untuk mendidik manusia berkepribadian ikhlas sudah pasti diperlukan bantuan
metode yang dinamakan Ibadah.1
Ibadah yang dilakukan manusia, dalam wujud ritual Ilahi maupun tindakan sosial insani, harus berujung pada satu titik tujuan, Allah yang Maha Pengasih.2 Amal yang diorientasikan hanya kepada Allah inilah yang disebut ikhlas, ikhlas di sini bukan berarti peribadatan khusus yang telah ditetapkan ketentuan dan cara-caranya secara fisik, tapi hanya persoalan hati.
Tugas utama manusia hidup di dunia ini adalah beribadah kepada Allah swt ibadah kepada-Nya merupakan bukti pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Dari berbagai ayat dan hadis dijelaskan bahwa pada hakikatnya manusia yang beribadah kepada Allah swt ialah manusia yang dalam menjalani hidupnya berpegang teguh kepada apa yang disebut ibadah mahdhah saja, tetapi sangat luas seluas aspek kehidupan yang ada. Yang penting aktivitas yang dilakukan harus diniatkan untuk ibadah kepada-Nya dan yang menjadi pedoman dalam mengontrol aktivitas ini adalah wahyu Allah swt dan sabda Rasulullah saw. Dengan demikian, ikhlas berarti sebagai syarat diterimanya setiap amal ibadah. Firman Allah dalam Surat al-An‟am ayat 162 dan Surat al-Bayyinah Ayat 5:
“Katakanlah: Sesungguhnya salatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. al-An‟am: 162)
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya
semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS.al-Bayyinah: 5)
Pribadi manusia itu dapat berubah, dalam konteks ikhlas baik pribadi manusia itu mudah atau dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, internal maupun eksternal. Karena itu, diperlukan adanya upaya yang efektif untuk mendidik dan membentuk atau mewujudkan kepribadian yang ikhlas, yang dalam hal ini secara khusus paradigm kepada al-Qur„an dan Sunnah Rasulullah saw serta nilai-nilai ketauhidan. Upaya berevolusi dan mentransformasi kepribadian dari yang buruk kepada yang baik, dari yang negatif kepada yang positif, dari destruktif kepada yang konstruktif, dari yang tercela kepada yang terpuji, dari hewani kepada insani, dan dari insani kepada Rabani serta upaya-upaya ke arah kepribadian yang lebih progresif lainnya.
Di era sekarang, semakin banyak ditemukan manusia yang lebih cenderung untuk memandang bahwa hidup ini tidak ada yang gratis, selalu ada cost (harga) yang harus dibayar, hal ini menjadikan hegemoni mereka untuk selalu memperhitungkan untung rugi dalam segala aspek hidupnya. Paradigma ini pada gilirannya menjadikan sulitnya dan sangatlah kecil ditemukan manusia yang tulus dalam sikap dan niatnya. Oleh karenanya kehadiran penafsiran tentang ikhlas selalu memiliki nilai urgensinya. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, menjadi sangat urgen ketika kajian tentang ikhlas ini menjadi salah satu kajian utama dalam segala hal khususnya dalam mengembangkan kepribadian yang baik, maka penulis merasa tertarik untuk menggali secara lebih lanjut mengenai ikhlas yang akan dituangkan dalam sebuah karya ilmiah.
Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Keikhlasan
Kata ikhlas sendiri sebenarnya tidak dijumpai secara langsung penggunaannya dalam al-Qur‟an. Dalam al-Qur‟an kata khalasa dengan berbagai bentuknya secara menyeluruh ditemukan sebanyak 31 kali, sedangkan jumlah kalimat yang berbeda ada 14 kalimat, yang berasal dari tiga bentuk fi„il, yaitu khalasa sebanyak 8 kali, akhlasa sebanyak 22 kali, dan istakhlasa 1 kali. Dari sejumlah itu, yang dirangkaikan dengan din dalam arti agama, peribadatan, atau ketaatan adalah sebanyak 12 kali yang kesemuanya bermuara kepada Allah swt. dengan perincian sebagai berikut:
- Dari bentuk khalasa sebanyak 1 kali, yaitu al-din al-khalis.
- Dari bentuk akhlasa sebanyak 11 kali, dengan makna memurnikan peribadatan atau ketaatan kepada Allah atau tulus ikhlas mengerjakan agama karena Allah. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut akhlasu pada QS. al-Nisa‟: 146, mukhlisna pada QS. al-A„raf: 29, Yunus: 22, al-Ankabut: 65, Luqman: 32, al-Zumar: 2, 11, 14, dan al-Bayyinah:
Untuk itu ketulusan dalam berbicara dan keyakinan adalah merupakan dasar diterimanya sebuah perbuatan di sisi Allah. Jika kita perhatikan kata mukhlis seperti ungkapan fulanun mukhlisun mempunyai pengertian orang yang mengesakan Allah. Ikhlas adalah penanggalan al-Haqq dalam mengarahkan semua orientasi dan aplikasi ketaatan. Dengan ketaatan dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada Allah semata, tidak yang lain, tanpa dibuat-buat, tanpa ditunjukkan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia atau makna-makna lain selain pendekatan diri pada Allah. Bisa juga diartikan bahwa ikhlas merupakan penjernihan perbuatan dari campuran semua makhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruh-pengaruh pribadi. Ikhlas merupakan pertanda terpuji dan merupakan sifat mulia dimana Islam selalu menganjurkan agar umatnya berpegang teguh pada dasar dan tujuan ikhlas yaitu dengan menjauhkan dari sifat pamer dan kemunafikan yang keduanya merupakan hal yang dapat merusak dan menghancurkan kemurnian sebuah perbuatan. Penafsiran seperti ini juga disampaikan oleh Ibnu Qayyim.
Ikhlas yang Berhubungan dengan Amal Manusia
- Surat Sad ayat 46, 82, 83
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang Tinggi Yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.” 16 (QS. Sad: 46)
“Iblis menjawab: Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Sad: 82)
“Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.” 17 (QS. Sad: 83)
- Surat al-A„raf ayat 29 dan 32
“Katakanlah: “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan”. dan (katakanlah): Luruskanlah muka dirimu di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya).” (QS.al-A‟raf: 29)
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” 18 (QS.al-A‟raf: 32)
Keikhlasan seseorang dapat bertingkat-tingkat, sesuai kedekatannya dengan Tuhan. Tingkat pertama, adalah ikhlas yang ada pada kelompok orang-orang baik. Perbuatan mereka karena keikhlasannya, betul-betul terbebas dari sifat ria. Namun, tetap ada pamrih yang mereka harapkan dari perbuatan mereka, yaitu mengharap pahala dari Tuhan dan mengharap dijauhkan dari api neraka. Tingkat kedua, adalah jenis ikhlas yang dimiliki oleh kelompok orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan. Sikap tulus kelompok ini, telah jauh melampaui ikhlas yang ada pada kelompok pertama tadi. Mereka benar-benar bekerja tanpa pamrih, tidak melihat perbuatannya karena daya dan upayanya sendiri, tapi semata-mata karena Tuhan.