PERLINDUNGAN SATWA LIAR MENURUT HUKUM

Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Namun, Indonesia juga menjadi salah satu Negara yang banyak menghadapi praktek kejahatan terhadap satwa-satwa liarnya.Pemburuan dan perdagangan satwa liar menjadi salah satu penyumbang berkurangnya satwa asli Indonesia, selain perubahan fungsi lahan dan hutan. Penuntutan hukum kasus perdagangan satwa liar yang dilindungi diharapkan mampu memberikan efek jera sekaligus mencegah kejahatan ini

Sumber daya alam merupakan karunia dari Allah SWT yang harus dikelola dengan bijaksana, sebab sumber daya alam memiliki keterbatasan penggunaannya (Supriadi 2008) Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang ada di lingkungan alam yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia agar lebih sejahtera (Fatchan, 2003). Sumber daya alam berdasarkan jenisnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu; sumber daya alam hayati atau biotik, dan sumber daya alam non hayati / abiotik. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.

Perdagangan satwa liar terjadi semakin marak di Indonesia. Perdagangan satwa liar khususnya satwa liar yang dilindungi ataupun langka digolongkan suatu tindak pidana, Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDA). Perdagangan satwa liar yang dilindungi juga sudah masuk sebagai permasalahan internasional. Perlindungan dan pengelolaan kawasan konservasi serta perlindungan dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya beserta Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang memuat lampiran daftar jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi di Indonesia. Pemanfaatannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar yang mengatur tata cara memanfaatkan jenis yang dilindungi untuk beberapa kegiatan tertentu dengan kondisi dan prasyaratan yang diizinkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

International Animal Rescue (IAR) Indonesia mencatat lebih dari 80 persen satwa yang diperdagangkan secara daring atau melalui pasar burung, merupakan tangkapan dari alam liar. Hal ini dapat memicu fenomena hutan tanpa satwa, bila perburuan satwa liar terus berlangsung. Catatan lain juga menyebutkan bahwa kejahatan satwa liar secara global menempati posisi kedua setelah kejahatan narkotika. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan nilai kerugian negara akibat perdagangan satwa liar secara ilegal diperkirakan mencapai Rp. 13 Triliun per tahun

Pelaksanaan Perlindungan Satwa Liar yang Dilindungi menurut Hukum Indonesia

Indonesia merupakan Negara yang sangat kaya dengan keanekaragaman satwanya, namun Indonesia juga dikenal sebagai Negara yang memiliki daftar panjang tentang satwa liar yang terancam punah. Faktor utama yang mengancam punahnya satwa liar tersebut adalah semakin sempit atau rusaknya habitat mereka dan perburuan untuk diperdagangkan. Di Indonesia, perlindungan dan pengelolaan kawasan konservasi serta perlindungan dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar diatur dalam Undang-Udang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya beserta Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwayang memuat lampiran daftar jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Pemanfaatannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar yang mengatur tata cara memanfaatan jenis yang dilindungi untuk beberapa kegiatan tertentu dengan kondisi dan persyaratan yang diizinkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia. Pengaturan mengenai perdagangan satwa yang dilindungi menjadi dasar bagi penegak hukum terhadap pelaksanaan tugasnya dalam menangani kasus perdagangan liar. Akan tetapi penegak hukum tidak dapat bekerja sendiri, karena setelahnya penegak hukum membutuhkan bantuan dari lembaga konservasi untuk merawat satwa hasil sitaan pemerintah dalam kasus perdagangan liar tersebut. Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17 % satwa di dunia terdapat di Indonesia, walaupun luas Indonesia hanya 1,3 % dari luas daratan dunia. Indonesia merupakan Negara nomor satu dalam hal kekayaan mamalia (515 jenis) dan menjadi habitat dari sekitar 1.539 jenis burung dan 45% jenis ikan di dunia. Potensi tersebut merupakan asset yang tak ternilai sehingga perlu dilakukan perlindungan hukum untuk keanekaragaman hayati di Indonesia.

Instrumen Hukum Nasional mengenai Satwa Liar yang Dilindungi

Dasar hukum untuk pengelolaan kawasan lindung diperkuat dengan disahkannya UndangUndang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya tahun 1990. Dimaksudkan sebagai kerangka menyeluruh untuk pelestarian keanekaragaman hayati dan penggunaannya, undang-undang ini bertujuan melindungi sistem pendukung kehidupannya, melindungi keanekaragaman jenis tanaman dan hewan, termasuk ekosistemnya, dan melestarikan tanaman dan hewan yang dilindungi (Barber 1997) Satwa dilindungi merupakan satwa yang telah jarang keberadaannya dan oleh karenanya dilindungi oleh berbagai peraturan. Salah satu tindakan yang hingga saat ini masih sering terjadi dan melanggar aturan dalam perlindungan satwa adalah perdagangan satwa secara liar. Perdagangan satwa secara liar merupakan tindakan yang telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Diana dalam Pasal 21 telah disebutkan larangan untuk memperdagangkan satwa dilindungi. Hukum positif di Indonesia membedakan satwa dengan terminology “satwa liar”dan “hewan piaraan”. Satwa liar menurut Pasal 1 angka 7 UU Konservasi Hayati adalah semua binatang yang hidup di darat, air, dan/atau udara yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Sedangkan hewan peliharaan diartikan oleh Pasal 1 angka (4) UU Peternakan sebagai Hewan yang kehidupannya untuk sebagian atau seluruhnya bergantung pada manusia untuk maksud tertentu. Penyebutan “satwa” digunakan merujuk pada satwa liar yang diartikan sebagai binatang yang masih memiliki sifat liar, sedangkan “hewan”, digunakan untuk merujuk pada hewan yang sebagian atau seluruh hidupnya bergantung pada manusia seperti hewan peliharaan dan ternak. Sesuai dalam penjelasan Pasal 1 angka (7) UU Konservasi Hayati yang menyebutkan bahwa ikan dan ternak bukan termasuk satwa liar. Pasal 4 ayat (1) PP No.7 tahun 1999, Satwa liar digolongkan menjadi satwa dilindungi dan satwa tidak dilindungi. Penggolongan satwa liar dilindungi dilakukan berdasarkan keputusan Menteri, dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan rekomendasi lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selaku scientific authority. Penggolongan bertujuan menciptakan kepastian hukum perlindungan satwa liar dan usaha pemanfaatannya. Perbedaan tersebut juga berimbas pada ketentuan peraturan perundang-undangan mana yang dapat digunakan sebagai perlindungan hukum satwa liar. Satwa liar dilindungi merupakan objek perlindungan hukum ketentuan UU Konservasi Hayati beserta peraturan-peraturan dibawahnya. Salah satu pilar penting dalam konservasi yang dilakukan oleh pemerintah adalah pengawetan keanekaragaman jenis satwa beserta ekosistemnya. Hal ini dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap dalam keadaan asli dan tidak punah. Kegiatan pengawetan jenis ini dapat dilakukan di dalam (in situ) dan diluar (ex-situ) kawasan suaka alam atau kawasan konservasi. Pengawetan di luar kawasan meliputi pengaturan mengenai pembatasan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan terhadap tumbuhan dan satwa. Penggolongan spesies dengan status “dilindungi” bukan berarti spesies tersebut tidak dapat dimanfaatkan, melainkan boleh dimanfaatkan asalkan dengan lestari. Pengelolaan satwa liar dilakukan atas prinsip-prinsip kelestarian hasil (sustained yield principle). Istilah sustained yield memiliki arti bahwa satwa liar dilindungi dapat dipanen secara periodic tanpa mengurangi potensi perkembangbiakan mereka, dan diharapkan akan diperoleh lebih banyak individu yang dapatdipanen di masa yang akan datang (Selamat, 2018). Panen memiliki arti jumlah individu satwa liar yang dapat dimanfaatkan secara langsung. Dalam pengelolaan konservasi ex-situ panen adalah jumlah satwa liar dilindungi hasil pengembangbiakan yang dapat dimanfaatkan disana, sedangkan sisanya dikembalikan ke habitat asli (restocking). Hal ini merupakan implementasi asas konservasi pada pengelolaan satwa. Pengelolaan jenis satwa yang dilindungi dimaksudkan untuk melindungi satwa agar tidak mengalami kepunahan (Selamat, 2018) Penetapan ini dapat diubah sewaktu-waktu oleh otorita manajemen, tergantung dari tingkat keperluannya, yang ditentukan oleh tingkat bahaya kepunahan yang mengancam jenis bersangkutan (Penjelasan Pasal 11 UU Konservasi). Satwa yang dilindungi dapat juga dimanfaatkan untuk kegiatan dan kondisi tertentu. Pemanfaatan dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar seperti yang diatur dalam Pasal 36 UU Konservasi untuk: Pengkajian, penelitian dan pengembangan; Penangkaran; Pemburuan; Perdagangan; Peragaan; Pertukaran; Budidaya tanaman obat-obatan; dan Pemeliharaan untuk kesenangan.Pemanfaatan jenis satwa liar harus dilakukan dengan tetap menjaga keseimbangan populasi dengan habitatnya. Ketentuan lebih lanjut tentang kegiatan pemanfaatan diatur dalam Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Kegiatan perdagangan atau pengiriman satwa liar ditentukan bahwa pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa liar dari satu wilayah habitat ke wilayah habitat lainnya di Indonesia, atau dari dan keluar wilayah Indonesia, wajib dilengkapi dengan dokumen pengiriman atau pengangkutan yang disebut Surat Angkut Tumbuhan / Satwa (SATS). SATS memuat keterangan tentang jenis dan jumlah tumbuhan dan satwa, pelabuhan pemberangkatan dan pelabuhan tujuan, identitas orang atau badan yang mengirim dan menerima tumbuhan dan satwa dan peruntukan pemanfaatan tumbuhan dan satwa. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang memuat perbuatan pidana, Petanggung jawaban pidana maupun sanksi pidana yang menyangkut segala aktivitas yang dilakukan manusia dikawasan konservasi, baik itu pada flora dan fauna yang dilindungi meupun yang tidak dilindungi termasuk habitatnya. Secara substansial pengaturan perbuatan pidana, pertanggung jawaban pidana, dan sanksi pidana yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tertera pada Pasal 19,21, 33 dan 40 merupakan satu kesatuan.

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 juga mengatur hal-hal yang dilarang dengan ancaman hukuman pidana seperti dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2):

  1. Setiap orang dilarang untuk :
  2. Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
  3. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau diluar Indonesia;
  4. Setiap orang dilarang untuk:
  5. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi daam keadaan hidup;
  6. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
  7. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar indonesia;
  8. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindung atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
  9. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi.

 

Larangan diatas tersebut tidak berlaku untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan dan atau penyelamatan jenis satwa. Termasuk dalam penyelamatan adalah pemberian atau penukaran jenis satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah. Dari beberapa ketentuan dalam perundang-undangan yang ada, jenis atau tipologi kejahatan tumbuhan dan satwa liar antara lain: Perburuan Satwa Liar; Perdagangan / Pemanfaatan illegal Tumbuhan dan satwa Liar; Pemilikan illegal tumbuhan dan Satwa Liar;Penyelundupan tumbuhan dan satwa liar; dan Penyalahgunaan dokumen (pengangkutan, kuota ekspor dll). Modus operandi kejahatan satwa liar yang biasa terjadi yaitu: Perdagangan / pemanfaatan illegal satwa liar dilindungi; Pemilikan illegal satwa liar; Perburuan illegal satwa liar; Pemalsuan dokumen untuk perdagangan satwa liar; Penyelundupan jenis-jenis satwa dilindungi; Penyuapan terhadap aparat dalam perdagangan satwa liar; Penerbitan/penyalahgunaan dokumen palsu (Surat Angkut Tumbuhan/ Satwa) terkait kepemilikan / perdagangan satwa liar; dan Pemalsuan jenis (dengan mencantumkan keterangan informasi yang berbeda pada kemasan)

Pelaksanaan Perlindungan Satwa Liar yang Dilindungi menurut Hukum Internasional

Peranaan Perlindungan Satwa Liar yang Dilindungi menurut Hukum Internasional Konvensi CITES telah lama diratifikasi.Namun belum dapat diimplementasikan secara optimal untuk melindungi dari ancaman kepunahan. Indonesia pernah memperoleh ancaman total trade ban dari secretariat CITES karena dianggap tidak cukup memiliki peraturan yang memadai yang dapat dipergunakan untuk mendukung implementasi CITES.

 

Sumber:

Lathifah Hanim , Munsharif Abdul Chalim ,Jawade Hafidz

Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai Tahun 2020

https://jurnal.saburai.id