BYSTANDER EFFECT : SI PENGAMAT TANPA PEDULI
Pernahkah kamu melihat suatu insiden kecelakaan dan hanya sekedar menonton tanpa berinisiasi untuk menolong? Mungkin kamu sedang terkena bystander effect. Apakah bystander effect itu?
Bystander efek atau efek pengamat adalah suatu fenomena dalam psikologi sosial ketika seseorang membutuhkan pertolongan tapi orang di sekitarnya tidak ada yang membantu. Hal ini dikarenakan mereka menganggap akan ada orang lain yang menolong korban.
Akan tetapi, karena semua orang memikirkan hal yang sama, akhirnya tidak ada orang yang menolong sama sekali. Oleh karena itu, fenomena ini disebut bystander karena orang-orang tersebut hanya menonton korban meminta tolong sambil berharap orang lain akan membantunya. Efek pengamat menggambarkan situasi di mana sekelompok pengamat menyaksikan kerusakan yang dilakukan, namun tidak melakukan apa pun untuk membantu atau menghentikan aktivitas berbahaya tersebut.
Menurut Departemen Kehakiman AS , seorang pengamat hadir pada 70 persen penyerangan dan 52 persen perampokan. Persentase orang yang membantu korban sangat bervariasi, menurut jenis kejahatan, lingkungan, dan variabel kunci lainnya. Efek pengamat dapat terjadi dengan banyak jenis kejahatan kekerasan dan non-kekerasan. Ini mencakup perilaku seperti intimidasi, intimidasi dunia maya, atau mengemudi dalam keadaan mabuk, dan masalah sosial seperti kerusakan properti atau lingkungan.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI BYSTANDER EFFECT
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi seseorang dalam menentukan keputusan untuk melakukan bystander effect tersebut atau tidak yang terbagi ke dalam dua jenis faktor, yaitu faktor dari dalam diri dan faktor situasional. Berikut penjelasan lebih lanjut.
A. Faktor dari Dalam Diri meliputi
1. Perasaan (mood)
Perasaan ini terbagi menjadi dua, yaitu perasaan negatif dan perasaan positif. Namun, perasaan negatif tidak memiliki konsistensi dalam memengaruhi individu, terutama pada anak-anak. Sebaliknya pada orang dewasa yang sedang mengalami perasaan negatif, bystander effect mereka cenderung meningkat (Wegener & Petty, 1994 dalam Aronson, Wilson & Akert 2007). Akan tetapi, pada perasaan positif akan menunjukkan hubungan yang lebih konsisten dengan tingkah laku menolong.
2. Sifat (trait)
Beberapa penelitian membuktikan adanya hubungan antara sifat seseorang dengan kecenderungan untuk menolong (Karremans, dkk., 2005)
3. Agama
Menurut Gallup (1984), 12% dari orang Amerika yang tergolong taat beragama, 45% diantaranya membantu dalam pekerjaan sosial, sedangkan pada kalangan yang tidak taat beragama presentase yang membantu hanya 22% saja.
4. Jenis Kelamin
Laki-laki cenderung lebih bersedia terlibat dalam aktivitas menolong pada situasi darurat yang membahayakan. Sementara perempuan, lebih tampil menolong pada situasi yang bersifat memberi dukungan emosi, merawat, dan mengasuh (Deaux, Dane, Wrightsman, 1993 dalam Sarwono & Meinarno 2009).
B. Faktor Situasional meliputi:
1. Jenis Kelamin Orang yang Ditolong
Laki-laki cenderung memberi pertolongan pada perempuan yang mengalami kesulitan (Latane & Dabbs, 1975; Piliavin & Unger, 1985). Akan tetapi, pada perempuan cenderung memberikan pertolongan tanpa memandang jenis kelamin orang yang membutuhkan pertolongan (Penner, Dertke & Achenbach, 1993).
2. Kesamaan
Kesamaan, seperti ras, agama, usia, jenis kelamin, dan karakteristik lainnya yang dimiliki oleh anggota kelompoknya cenderung menolong orang yang memiliki beberapa kemiripan dengan dirinya (Krebs, 1975 dalam Sarlito & Meinarno, 2008).
3. Physical Attractiveness dan Atribusi Terhadap Korban Apa pun faktor yang dapat meningkatkan ketertarikan bystander kepada korban akan meningkatkan kemungkinan terjadinya respon untuk menolong (Clark, dkk., 1987, dalam Baron, Byrne, Branscombe, 2006). Selain itu, Benson, Karabenick & Lerner, 1976 dan West & Brown (1975) dalam Graham M. Vaughan & Michael A. Hogg (2005) menemukan bahwa seorang korban yang memiliki physical attractiveness akan lebih mudah mendapat pertolongan
4. Desakan waktu Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung untuk tidak menolong, sedangkan orang yang sedang santai lebih besar kemungkinannya untuk memberi pertolongan kepada yang memerlukannya (Darley & Batson, 1973).
ALASAN TERJADINYA EFEK PENGAMAT
Dalam sebuah penelitian terkenal, para peneliti menemukan bahwa, ketika para pengamat sendirian, 75 persen membantu ketika mereka mengira seseorang dalam kesulitan. Namun, ketika sekelompok enam orang bersama-sama, hanya 31 persen yang membantu.
Menjadi bagian dari kelompok sering mengurangi rasa tanggung jawab pribadi seseorang. Sebaliknya, ada perasaan anonimitas. Dalam keadaan ini, orang lebih cenderung melakukan hal-hal yang tidak akan pernah mereka lakukan secara individu. Deindividuasi ini, atau persepsi hilangnya individualitas, sering dikaitkan dengan aksi massa atau pembantaian yang terkenal kejam. Saksi pembunuhan Kitty Genovese memberikan alasan seperti, “Saya tidak ingin terlibat,” dan “Saya pikir itu hanya pertengkaran sepasang kekasih.”
Alasan umum untuk tidak datang membantu korban meliputi:
1. takut bahwa risiko bahaya pribadi terlalu besar
2. merasa bahwa seseorang tidak memiliki kekuatan atau sifat lain yang diperlukan untuk dapat membantu
3. dengan asumsi bahwa orang lain lebih memenuhi syarat untuk membantu
4. memperhatikan reaksi para saksi lain dan menganggap situasinya tidak seserius yang Anda pikirkan karena mereka tidak tampak khawatir
5. takut menjadi sasaran agresi atau intimidasi
6. difusi tanggung jawab di sini adalah keadaan ketika orang tidak merasa harus menolong
Anda lebih mungkin untuk bertindak jika jelas bagi Anda bahwa korban membutuhkan bantuan. Misalnya, beberapa saksi pembunuhan Kitty Genovese tidak dapat melihat serangan dengan baik dan tidak yakin apakah dia benar-benar terluka.
Anda mungkin juga lebih mungkin untuk membantu jika Anda:
1. kenali korbannya
2. memiliki pelatihan dalam pertahanan pribadi
3. memiliki pelatihan atau pengalaman medis
4. pernah menjadi korban, apalagi jika pelakunya tertangkap dan dimintai pertanggungjawaban
5. pikir orang itu pantas mendapatkan bantuan
MODEL KEPUTUSAN MEMBANTU
Latané & Darley (1970) merumuskan model lima tahap untuk menjelaskan mengapa pengamat dalam keadaan darurat kadang-kadang melakukan dan kadang-kadang tidak menawarkan bantuan.
Pada setiap tahap dalam model, jawaban ‘Tidak’ menghasilkan tidak ada bantuan yang diberikan, sedangkan jawaban ‘ya’ membuat individu lebih dekat untuk menawarkan bantuan. Namun, mereka berpendapat bahwa tanggapan membantu dapat dihambat pada setiap tahap proses. Misalnya, pengamat mungkin tidak memperhatikan situasi atau situasinya mungkin ambigu dan tidak mudah ditafsirkan sebagai keadaan darurat.
Kelima tahapan tersebut adalah:
1. Si Pengamat harus memperhatikan bahwa ada sesuatu yang salah.
2. Si Pengamat harus mendefinisikan situasi itu sebagai keadaan darurat.
3. Si Pengamat harus menilai seberapa pribadi mereka bertanggung jawab.
4. Si Pengamat harus memutuskan cara terbaik untuk menawarkan bantuan.
5. Si Pengamat harus bertindak berdasarkan keputusan itu.
TIPS MENGATASI BYSTANDER EFFECT
Berikut beberapa tips yang dapat dilakukan:
• Menumbuhkan rasa empati dan simpati terhadap orang lain bila Anda adalah seorang pengamat.
• Menghubungi pihak yang dapat membantu, seperti pertolongan medis, ambulans, atau satpam terdekat.
• Berinisiatif untuk menolong orang tersebut bila tidak ada yang membantu karena bystander efeknya seperti domino. Jika ada orang yang menolong, makan semua akan mencoba ikut membantu.
• Ikut mengedukasi orang-orang agar tetap aktif dan melawan rasa apatis ketika orang lain membutuhkan pertolongan.
Sumber:
https://www.healthline.com/
https://hellosehat.com/
https://www.psychologytoday.com/
Simply Psychology – Self-Care, Theories, Famous Studies & More
berdasarkan jurnal Gunawan Wiradharma dan Rahmat Septiyadi, 2018, Bystander Effect: Ketidakpedulian Orang Urban