Melihat lingkungan atau teman di media sosial yang suka pamer, mungkin Anda kerap bertanya, kira-kira apa sih yang mendorong mereka untuk berperilaku demikian? Mengapa mereka sering membuat orang lain yang melihatnya merasa ngeri bahkan prihatin. Kini segala bentuk aktivitas sehari-hari bisa Anda bagikan dengan mudah lewat media sosial (medsos). Tanpa Anda sadari, muncul fenomena baru sebagai dampaknya, salah satunya flexing. Apa itu flexing? Bagaimana dampaknya pada kehidupan? Simak di sini!

Apa itu Flexing?

Flexing merupakan slang word alias bahasa gaul dalam bahasa Inggris. Jika diterjemahkan, flexing artinya suka pamer. Lebih jelasnya lagi, istilah ini bisa menggambarkan seseorang yang senang memamerkan kemewahan dan kekayaan. Jadi, flexing adalah istilah untuk mendeskripsikan seseorang yang sering memamerkan kekayaan mereka. Akibat medsos, istilah ini semakin terkenal di kalangan masyarakat. Jika pada awalnya pamer kekayaan dianggap sebagai hal yang tidak umum, kini pamer kekayaan di platform online, seperti Instagram menjadi hal yang wajar-wajar saja untuk dilakukan. Ada saja yang kerap kali dipamerkan influencer-influencer tanah air, seperti pakaian mahal, koleksi sepatu dan tas, saldo ATM, liburan ke berbagai belahan dunia, hingga tumpukan uang tunai.

Pada gilirannya, muncul istilah-istilah lain yang berkaitan dengan hal tersebut. Sebut saja crazy rich atau sultan. Saat ini, fenomena flexing memang seakan tengah menjamur. Bahkan, selebriti dan jajaran influencer lainnya membangun personal branding (citra diri) mereka lewat pamer kekayaan. Menurut ilmu ekonomi, flexing dikenal sebagai conspicuous consumption (konsumsi mencolok), yaitu menghabiskan uang untuk membeli barang atau jasa sebagai cara menunjukkan status atau kekuatan ekonomi. Artinya, seseorang yang berbelanja untuk memamerkan kekayaan lebih senang jika barang atau jasa yang mereka beli memiliki harga yang fantastis. Istilah conspicuous consumption sendiri pertama kali muncul dalam buku The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions karya Thorstein Veblen tahun 1899 silam.

Penyebab Seseorang Melakukan Flexing

Setelah mengetahui arti flexing, Anda mungkin bertanya-tanya, mengapa ada orang yang senang pamer kekayaan? Faktanya, ada alasan di balik seseorang melakukan tindakan ini, terutama di sosial media. Seseorang melakukan flexing dengan banyak alasan, misalnya membangun kesan di hadapan orang lain, menunjukkan status serta proporsi sosial, dan menunjukkan kemampuan. Selain itu, pamer di medsos juga menunjukkan kebutuhan terhadap eksistensi diri. Penyebab flexing terbentuk, yaitu kepribadian, faktor dari lingkungan, takut terhadap penolakan, dan kebutuhan untuk menunjukkan eksistensi diri. Sebenarnya, perilaku pamer kekayaan ini bukanlah sesuatu yang buruk. Hanya saja, bila sudah merugikan orang lain, atau mengubah kepribadian menjadi orang yang berbeda, bahkan cenderung buruk, flexing menjadi masalah. Perilaku ini bisa dianggap sebagai gangguan psikologis.

Akibat Sering Flexing

Berikut ini adalah beberapa dampak yang ditimbulkan apabila sering flexing:

  • Berpotensi memaksa keadaan

Salah satu dampak dari sering pamer kekayaan adalah potensi memaksa keadaan. Karena terbiasa tampil dengan barang-barang mewah, seseorang akan semakin ingin menunjukkan eksistensinya. Jika pada suatu kondisi ia tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan tersebut, maka hal ini bisa mengarah pada pemaksaan keadaan.

Orang tersebut akan melakukan segala upaya agar tetap bisa flexing, walaupun harus meminjam uang. Bisa saja di balik penampilan modis dan bermereknya, seseorang sedang berusaha menutupi hutangnya.

Apalagi, kini sudah banyak tersedia berbagai fasilitas pinjaman uang yang akan semakin memudahkan. Menurut para perencana keuangan, meminjam uang bukan hal buruk, asalkan keperluannya memang penting. Apabila pinjam uang hanya untuk flexing di sosial media, maka itu lain lagi. Hal ini bisa berbahaya karena seseorang bisa terjebak untuk terus melakukannya. Ini berarti, seseorang membeli barang atau jasa di luar kemampuan mereka.

Sulit mendapatkan teman

Mungkin Anda menganggap kekayaan bisa menarik perhatian orang untuk mau berteman. Nyatanya, tidak demikian. Faktanya, seseorang yang kerap melakukan flexing bisa kesulitan mendapatkan teman baru, lho. Hal ini berdasarkan sebuah studi pada jurnal Social Psychological and Personality Science. Menurut studi tersebut, sebanyak 66 % orang cenderung memilih mobil mewah daripada mobil dengan harga standar.

Namun, dalam hal menarik orang baru, kebanyakan orang juga lebih suka berteman dengan orang yang memiliki kendaraan lebih murah. Selain itu, studi tersebut juga mengungkapkan bahwa dari sudut pandang seseorang, individu yang tampil high class ternyata kurang menarik untuk menjadi teman baru dibandingkan dengan mereka yang memiliki penanda status netral.

Mengganggu kepribadian

Sering pamer di sosial media akan berdampak terhadap kepribadian seseorang. Hal ini dikemukakan oleh Tim Kasser, seorang psikolog di Knox College penulis buku The High Price of Materialism. Menurutnya, orang yang sering flexing bisa menjadi kurang empati, kurang prososial, dan lebih kompetitif.

Selain itu, mereka cenderung tidak mendukung kelestarian lingkungan. Bahkan, cenderung mendukung keyakinan yang merugikan dan diskriminatif Itulah penjelasan seputar flexing dan dampaknya. Setelah mengetahui bahwa flexing dapat merugikan, Anda sebaiknya menjauhi perilaku ini. Jika merasa kesulitan untuk menghindarinya, segera konsultasikan ke psikolog untuk mendapatkan penanganan lanjutan.

Menurut Psikologi, Ini 6 Alasan Seseorang Suka Pamer Kekayaan

1. Insecure atau merasa tidak aman
Insecure menjadi alasan paling umum di balik penampilan orang yang sangat mencolok. Mereka berpikir bahwa orang lain tidak menganggap dirinya penting, sehingga mereka mencoba membuktikan diri.

Caranya dengan mencari perhatian mulai dari hal-hal yang mereka punya, lalu terus berulang sampai benar-benar diakui orang lain.

2. Menipu diri sendiri untuk terlihat makmur
Untuk bisa melewati masa-masa sulit, terkadang orang sesekali pamer demi membuktikan kepada dunia bahwa ia baik-baik saja. Perilaku ini cukup normal, asal dalam batas wajar dan tidak dilakukan terus menerus.

Jika seseorang dipaksa untuk membual tentang kesuksesannya, itu bisa dibilang sebagai penipuan diri sendiri.

3. Pengalaman masa kecil
Pengalaman pada waktu kecil biasanya akan membentuk perilaku Anda saat dewasa. Seperti contoh, jika seorang anak dihujani banyak perhatian dari orangtua dan orang-orang di sekitarnya, maka bisa saja ia menjadi terobsesi untuk bisa mempertahankan tingkat perhatian itu pada saat dewasa, dan berakhir sebagai si tukang pamer.

4. Obsesi
Ada tipe orang pamer, pertama pamer pada setiap orang dan kedua yaitu hanya pamer di depan orang yang mereka ingin buat terkesan. Contohnya seperti, mereka yang mengincar dan menyukai seseorang, atau sekedar ingin balas dendam pada orang tertentu.

5. Ingin diterima atau diakui
Menurut ahli psikolog, Abraham Maslow, alasan orang suka pamer adalah butuh pengakuan atau aktualisasi diri.

Ketika seseorang telah merasa kenyang dan cukup akan kebutuhan dasar dan psikologinya, maka dia tidak bergantung pada pengakuan orang lain. Sebaliknya, seorang dengan aktualisasi diri yang rendah akan merasa diterima oleh orang lain setelah mendapat pengakuan.