PENDIDIKAN INKLUSIF

 

Pendidikan inklusif adalah hak asasi, dan ini merupakan pendidikan yang baik untuk meningkatkan toleransi sosial. Secara sederhana ada beberapa  hal  yang  bisa  kita  pertimbangkan,  antara lain:  (a)  Semua  anak  memiliki  hak  untuk  belajar secara   bersama-sama,   (b)   Keberadaan   anak-anak jangan   didiskriminasikan,   dipisahkan,   dikucilkan karena kekurangmampuan atau mengalami kesulitan dalam    pembelajaran,    (c)    Tidak    ada    satupun ketentuan untuk mengucilkan anak dalam pendidikan. Pendidikan   inklusifmerujuk   pada pendidikan untuk semua yang berusaha menjangkau semua  orang  tanpa  kecuali.  Perubahan  pendidikan melalui  pendidikan  inklusif  memiliki  arti  penting khususnya dalam kerangka pengembangan pendidikan  bagi  anak  berkebutuhan  khusus.Secara teoritis pendidikan inklusif adalah proses pendidikan yang   memungkinkan   semua   anak   berkesempatan untuk  berpartisipasi  secara  penuh  dalam  kegiatan kelas  reguler,  tanpa  memandang  kelainan,  ras,  atau karakteristik    lainnya. Landasan    filosofis    utama penerapan  pendidikan  inklusif  di  Indonesia  adalah Pancasila  yang  merupakan  lima  pilar sekaligus  cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi,   yang   disebut   Bhineka   Tunggal   Ika   (Toto Bintoro,     2004).     Filsafat     ini     sebagai     wujud pengakuan   kebinekaan   manusia,   baik   kebinekaan vertical  maupun  horizontal,  yang  mengemban  misi tunggal  sebagai  umat  Tuhan  di  bumi.  Kebinekaan vertical   ditandai   dengan   perbedaan   kecerdasan, kekuatan  fisik,  kemampuan  finansial,  kepangkatan, kemampuan   pengendalian   diri,   dsb.   Sedangkan kebinekaan  horizontal  diwarnai  dengan  perbedaan suku  bangsa,  ras,  bahasa,  budaya,  agama,  tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dsb. Adanya berbagai keberagaman  namun  dengan  kesamaan  misi  yang diemban,    sehingga    menjadi    kewajiban    untuk membangun   kebersamaan   dan   interaksi   dilandasi dengan saling membutuhkan. Bertolak  dari  filosofi  Bhineka  Tunggal  Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk  kebhinekaan  seperti  halnya  perbedaan  suku, ras,   bahasa   budaya,   atau   agama.   Di   dalam   diri individu    berkelainan    pastilah    dapat    ditemukan keunggulan-keunggulan    tertentu,    sebaliknya    di dalam   diri   individu   berbakat   pasti   terdapat  juga kecacatan  tertentu,  karena  tidak  hanya  makhluk  di bumi  ini  yang  diciptakan  sempurna.  Kecacatan  dan keunggulan  tidak  memisahkan  peserta  didik  satu dengan   lainnya,   seperti   halnya   perbedaan   suku, bahasa,    budaya,    atau    agama.    Hal    ini    harus diwujudkan    dalam    sistem    pendidikan.    Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan  dan  interaksi  antar  siswa  yang  beragam, sehingga  mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih  asuh  dengan  semangat  toleransi  seperti  halnya yang  dijumpai  atau  dicita-citkan  dalam  kehidupan sehari-hari.   Secara   yuridis   pendidikan   bagi   anak berkebutuhan  khusus  (ABK)  diatur  pada: Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia (RI) 1945 terdapat pasal –pasal mengenai hak asasi manusia yang salah satunya  adalah  hak  dalam  mendapatkan  pendidikan bagi  setiap  orang  yaitu  pada  pasal  28C  ayat  (1),  Undang –Undang   (UU)   RI   No.4   Tahun   1997 tentang penyandang cacat, UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PERMENDIKNAS  nomor  70  tahun  2009  tentang pendidikan  inklusif  bagi  anak  berkebutuhan  khusus dan   anak   cerdas   istimewa   dan   bakat   istimewa. Selanjutnya  pelaksanaan  pendidikan  inklusif  diatur  dalam PERDA masing-masing daerah di Indonesia.

  • Sekolah inklusif

Sekolah inklusifadalahsekolah biasa/reguler    yang menyelengarakan    pendidikan inklusif dengan mengakomodasi semua peserta didik baik   anak   normal   maupun   anak   berkebutuhan khusus  yaitu  anak  yang  menyandang  kelainan  fisik, intelektual,  sosial,  emosi,  mental,  cerdas,  berbakat istimewa,   suku   terasing,   korban   bencana   alam, bencana sosial/miskin, mempunyai perbedaan warna kulit,   gender,   suku   bangsa,   ras,   bahasa,   budaya, agama,   tempat   tinggal,   kelompok   politik,   anak kembar, yatim, yatim piatu, anak terlantar, anak tuna wisma,  anak  terbuang,  anak  yang  terlibat  sistem pengadilan   remaja,   anak   terkena   daerah   konflik senjata,   anak   pengemis,   anak   terkena   dampak narkoba  HIV/AIDS  (ODHA),  anak  nomaden  dan lain-lain sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya  (Alimin,  Z.  dan  Permanarian,  2005). Sekolah   inklusif   harus   mengenali   dan   merespon terhadap  kebutuhan  yang  berbeda-beda  dari  para siswanya,   mengakomodasi   berbagai   macam   gaya dan kecepatan belajarnya, dan menjamin diberikannya  pendidikan  yang  berkualitas  kepada semua  siswa  melalui  penyusunan  kurikulum  yang tepat, pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pengajaran  yang  tepat,  pemanfaatan  sumber-sumber dengan sebaik-baiknya, dan penggalangan kemitraan dengan masyarakat sekitarnya.

  • Profil pembelajaran di sekolah inklusif

Pertama, menciptakan dan menjaga komunitas kelas, yang hangat, menerima keanekaragaman,  dan  menghargai  perbedaan.  Guru mempunyai  tanggung  jawab  menciptakan  suasana kelas  yang  menampung  semua  anak  secara  penuh dengan   menekankan   suasana   sosial   kelas   yang menghargai perbedaan yangmenyangkut kemampuan,  kondisi  fisik,  sosial  ekonomi,  agama, dan sebagainya. Dengan demikian pengelolaan kelas dalam  pembelajaran  kelas  yang  memang  heterogen dan  penuh  dengan  perbedaan-perbedaan  individual memerlukan  perubahan  kurikulum  secara  mendasar. Guru di kelas inklusif secara konsisten akan bergeser dari   pembelajaran   yang   kaku,   berdasarkan   buku teks, atau materi biasa ke pembelajaran yang banyak melibatkan  belajar  kooperatif,  tematik,  dan  berfikir kritis,   pemecahan   masalah,   dan   asesmen   secara autentik. Kedua menuntut  penerapan  kurikulum  yang multilevel  dan  multimodalitas.  Kelas  yang  inklusif berarti    pembelajaran    tidak    lagi    berpusat    pada kurikulum  melainkan  berpusat  pada  anak,  dengan konsekuensi  berarti  adanya  fleksibilitas  kurikulum dan   penerapan   layanan   program   individual   atau pendekatan  proses  kelompok  dalam  implementasi kurikulum    yang    multilevel    dan    multimodalitas tersebut.Ketiga,  menyiapkan  dan  mendorong  guru untuk  mengajar  secara  interaktif.  Perubahan  dalam kurikulum  berkaitan  erat  dengan  perubahan  metode pembelajaran.   Model   kelas   tradisional.   di   mana seorang  guru  secara  sendirian  berjuang  untuk  dapat memenuhi  kebutuhan  semua  anak  di  kelas  harus diganti  dengan  model  pembelajaran  dimana  murid-murid  bekerja  sama,  saling  mengajar,  dan  secara, aktif berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. Kaitan antara, pembelajaran  kooperatif dan kelas inklusif sekarang jelas,  semua  anak  berada  di  satu  kelas  bukan  untuk berkompetisi,  tetapi  untuk  bekerja  sama  dan  saling belajar dari yang lain (UNESCO, 2002)

  • Menjadi Guru  yang  Unggul  dan  Tangguh  di sekolah inklusif
  • Pada dasarnya tugas guru yang paling utama adalah mengajar  dan    Sebagai  pengajar  ia merupakan medium atau perantara aktif antara siswa dan  ilmu  pengetahuan,  sedang  sebagai  pendidik  ia merupakan    medium    aktif    antara    siswa    dan haluan/filsafat   negara   dan   kehidupan   masyarakat dengan  segala  seginya,  dan  dalam  mengembangkan pribadi  siswa   serta   mendekatkan   mereka   dengan pengaruh-pengaruh    dari    luar    yang    baik    dan menjauhkan mereka  dari  pengaruh-pengaruh  yang buruk  (Hidayat  ,  2009).  Dengan  demikian  seorang guru   wajib   memiliki   segala   sesuatu   yang   erat hubungannya    dengan    bidang    tugasnya,    yaitu pengatahuan,  sifat-sifat  kepribadian,  serta  kesehatan jasmani   dan   rohani.   Ada   tiga   kemampuan   yang harus  dimiliki  oleh  guru  yang  ungul  dan  tangguh  di sekolah inklusif, yaitu: Pertama,Kemampuan    Umum    (general ability)   antara   lain   adalah   memiliki   ciri   warga Negara  yang religious  dan berkepribadian,  memiliki sikap    dan    kemampuan    mengaktualisasikan    diri sebagai    warga    Negara,    memiliki    sikap    dan kemampuan mengakui dan menghargai keberagaman peserta didik.Kedua,Kemampuan   dasar   (basic   ability) meliputi  memahami  dan  mampu  mengidentifikasi anak  berkebutuhan  khusus,  memahami  konsep  dan mampu merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus, mampu memberikan layanan bimbingan dan konseling    anak    berkebutuhan    khusus,    mampu mengembangkan kurikulumsesuai dengan kemampuan   dan   kebutuhan   anak   berkebutuhan khusus Ketiga,Kemampuan khusus     (specific ability)  kemampuan  ini  meliputi  mampu  melakukan modifikasi     perilaku,     menguasai     konsep     dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan penglihatan, menguasai  konsep  dan  keterampilan  pembelajaran bagi    anak    yang    mengalami    gangguan/kelainan pendengaran/komunikasi,   menguasai   konsep   dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami     gangguan/kelainan     intelektual     dan lamban  belajar  menguasai  konsep  dan  keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan   anggota   tubuh   dan   gerakan, menguasai  konsep  dan  keterampilan  pembelajaran bagi    anak    yang    mengalami    gangguan/kelainan perilaku   dan   sosial   dan   menguasai   konsep   dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami kesulitan belaja

 

Sumber:

A Rahim – Trihayu: Jurnal Pendidikan Ke-SD-an, 2016 – jurnal.ustjogja.ac.id