Bulan Muharam merupakan bulan pertama dalam sistem kalender Qamariyah (kalender Islam), sehingga 1 Muharam merupakan awal tahun baru Hijriyah. Bulan Muharam dikenal juga dengan sebutan bulan Syuro/Asyuro. Berbagai tradisi dilakukan oleh masyarakat Islam pada bulan Muharam di Indonesia. Sehingga banyak terdapat aktifitas tertentu pada yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Keberagaman budaya, agama, dan keyakinan masyarakat Indonesia telah mewarnai berbagai tradisi dan ritual yang dilakukan masyarakat pada bulan Muharam. Berbagai tradisi itu antara lain, membuat makanan berupa bubur merahputih, mencuci keris, membaca doa-doa, menyantuni anak yatim, dan sampai pada peristiwa budaya seperti tradisi kirab di Solo dan Yogyakarta, bulan Asan Usen di Aceh, tradisi Tabut di Bengkulu dan Tabuik di Pariaman Sumatera Barat. Jika dicermati ekspresi Masyarakat di bulan Muharam atau dikenal juga dengan Asyura tepatnya tanggal 10 Muharam dapat dikelompokkan dalam kelompok. Kelompok pertama berasumsi bahwa 10 Muharram dianggap hari yang dapat mendatangkan berkah dan keberuntungan yang berlipat sehingga diperingati dengan belanja aneka barang kebutuhan ataupun dengan mengadakan berbagai perayaan sukacita. Beberapa perayaan lain yang dilakukan misalnyade ngan pesta bubur jepe suro (bubur Muharam) yang dilakukan di Masyarakat Takalar, propinsi Sulawesi Selatan. Perayaan bubur ini diyakini dapat mendatangkan rezeki yang berlimpah. Sedangkan kelompok kedua berasumsi bahwa Muharam sebagai bulan berduka dan kesedihan diekspresikan dalam bentuk pelaksanaan tradisi menolak bencana, pada bulan Muharam kelompok ini cenderung berduka dan berdoa meminta perlindungan dari Allah SWT. Beberapa tradisi yang ada misalnya tradisi Tabut di Bengkulu, tradisi bubur tujuh macam di beberapa daerah, tradisi Jawa berupa penyucian benda-benda keramat, atau tradisi Barzanji, maupun bubur Suro di Sunda.
- Tradisi Asyuro di Jawa
Di Sumenep Madura, tradisi Muharaman diwarnai dengan tradisi membuat bubur. Bulan Muharam dalam bahasa Madura disebut dengan bulan Sora. Ketika bulan Sora, orang-orang Madura membuat bubur tajin dan menyebutnya Tajin Sora terbuat dari bubur nasi dengan kuah ketan. Kemudian memasuki bulan Shafar orang Madura membuat Tajin Mera Pote (Bubur Merah Putih) karena bubur itu terdiri dari dua warna. Warna putih dari santan dan warna merah dari gula, dan di dalamnya ada bola bola yang terbuat dari tepung ketan. Biasanya antar tetangga saling bersedekah bubur selama Muharam. Dalam pandangan tradisional orang Madura, bulan Muharam dianggap sebagai bulan nahas, sehingga dilarang melakukan perjalanan jauh pada bulan tersebut. Warna merah pada Tajin Suro dimaknai, sebagai gambaran darah Sayyidina Husein, putih itu menggambarkan kesucian perjuangan Sayyidina Husein. Tradisi bubur suro merupakan salah satu cara yang dilakukan masyarakat Jawa Barat (khususnya Tasikmalaya dan Limbangan, Garut) untuk menyambut datangnya bulan Muharam sekaligus mengenang wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW di medan peperangan. Pagi hari setiap tanggal sepuluh Muharam, hampir setiap rumah penduduk memasak bubur merah dan bubur putih secara terpisah dan dikenal dengan sebutan bubur suro. Selanjutnya, bubur suro akan dibawa ke masjid bersama dengan beragam makanan ringan lainnya. Penduduk yang mengikuti acara di masjid akan duduk membentuk lingkaran dan acara tersebut akan dipimpin oleh orang yang dituakan di daerah tersebut. Seorang wanita paruh baya akan membacakan solawat dan pujian bagi Rasullulah SAW yang diambil dari kitab al-Barzanzi. Seusai al-Barzanzi dilantunkan, maka akan diceritakanlah kisah hidup Husein bin Ali bin Abi Thalib, perjuangannya dalam menegakkan keadilan hingga Huein bin Ali yang syahid di medan peperangan. Setelah pembacaan kisah usai, maka para penduduk akan bersama-sama menikmati hidangan yang telah disajikan.3 Berbagai aktifitas seperti yang dikemukakan di atas, titik temunya adalah adanya kebiasaan di Masyarakat melakukan lelaku maupun tradisi dan ritual khusus di bulan Muharam. Hal yang kedua pada titik kesamaan tradisi ini adalah makan dan hidangan yang dibuat, umumnya mempunyai kemiripan, dikenal dengan bubur merah putih, ataupun bubur Asyura yang bahan pembuatannya juga tidak jauh berbeda, yakni dengan memanfaatkan hasil bumi Indonesia. Titik tolak aktifitas tahun Suro (Asyura) di dalam masyarakat Jawa, dimulai sejak upaya revolusioner yang dilakukan oleh Sultan Agung dalam memadukan sistem kalender Saka (penanggalan yang merupakan perpaduan dari Jawa asli dan Hindu) dengan sistem kalender Islam Hijriyah. Sultan Agung raja kerajaan Mataram (1613-1645), melakukan perubahan system kalender ini terjadi dan dimulai pada tanggal 1 Sura tahun Alip 1555, tepat pada tanggal 1 Muharam tahun 1043 Hijriyah, atau tepat pada tanggal 8 Juli 1633 masehi. Satu Suro merupakan hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro. Pergantian tahun baru Jawa ini memang jatuh tiap malam 1 Suro atau 1 Muharam. Dahulu Masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sedangkan, umat Islam pada masa Sultan Agung, Raja Mataram menggunakan sistem kalender Hijriah. Kemudian sebagai upaya memperluas ajaran Islam di tanah Jawa, Sultan Agung memadukan antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa. Berbagai aktifitas dilakukan masyarakat Jawa dalam menyambut malam tahun tahun baru Suro yang bertepatan dengan malam 1 Muharam, namun jika dibandingkan dengan penyambutan tahun baru Masehi (malam 1 Januari) maupun tahun baru Cina (Imlek), yang umumnya disambut dengan euforia dan berbagai kemeriahan, akan tetapi tahun baru Suro disambut dengan renungan instrospeksi diri dan berbagai ritual,satu aktifitas euforia yang berbeda. Kota Solo, Kraton Surakarta dan Yogyakarta, Kraton Yogyakarta sebagai bagian dari pusat budaya Jawa, menjadi ikon utama dan sering disoroti saat tibanya tanggal 1 Suro, karena berbagai aktifitas di dua wilayah tersebut sering menjadi pusat perhatian publik. Di Kraton Ngayogyakarta Hadiningratmemperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng. Sedangkan di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.