BAHAYA LABELING: PENGARUHNYA PADA KEHIDUPAN SESEORANG
Secara tidak sadar labeling menimbulkan banyak polemik bagi seseorang yang menerima label. Dampak dari labeling dapat menimbulkan permasalahan psikis sehingga dapat menghambat seseorang.
Labeling merupakan pemberian cap atau julukan kepada seseorang yang memiliki gejala-gejala perilaku tertentu. Dalam lingkungan sosial biasanya labeling diberikan pada seseorang yang berperilaku menyimpang seperti julukan pemabok, penipu, pencuri dan sebagainya. Menurut Jon Gunnar Bernburg, teori labeling berfokus terhadap masalah yang muncul setelah lingkungan sosial didefinisikan atau menyimbolkan individu orang yang menyimpang.
Pemberian label membuat diri seseorang mengeneralisasi dan membenarkan label tersebut sehingga konsep dirinya berubah menjadi negatif. Sebagaimana Henslin dan Erianjoni mengungkapkan bahwa label atau julukan yang diberikan kepada seseorang akan menjadi bagian dari konsep diri orang tersebut. Seseorang yang diberi label akan cenderung melanjutkan perilaku menyimpang yang dilabelkan pada dirinya.
ASAL USUL TEORI LABELING
Ide teori labeling berkembang dalam sosiologi Amerika selama tahun 1960-an, sebagian besar berkat sosiolog Howard Becker. Namun, ide intinya dapat ditelusuri kembali ke karya pendiri sosiolog Prancis Emile Durkheim. Teori sosiolog Amerika George Herbert Mead yang membingkai konstruksi sosial diri sebagai proses yang melibatkan interaksi dengan orang lain juga memengaruhi perkembangannya. Cendekiawan Frank Tannenbaum, Edwin Lemert, Albert Memmi, Erving Goffman, dan David Matza juga berperan dalam pengembangan dan penelitian teori labeling.
LABELING DALAM PENDIDIKAN
Labeling dalam pendidikan seorang anak memiliki peranan besar dalam memengaruhi
psikologis peserta didik. Menurut beberapa sumber, labeling terlibat dalam prestasi belajar, motivasi dalam belajar, konsep diri peserta didik dan dapat pula berpengaruh terhadap minat belajar peserta didik. Labeling memberikan dampak negatif melalui 3 cara yaitu sebagai berikut.:
1. Konsep diri
Konsep diri adalah identitas diri seseorang sebagai sebuah skema dasar yang terdiri dari kumpulan keyakinan dan sikap terhadap diri sendiri yang terorganisasi. Konsep diri dapat dipengaruhi oleh interaksi dengan orang. Menurut Sigmund Freud, konsep diri berkembang melalui pengalaman, terutama perlakuan orang lain terhadap diri sendiri secara berulang-ulang. Dengan menerima label “pemalas” dari gurunya maupun teman-temannya maka dari dalam diri peserta didik akan terbentuk konsep bahwa dirinya adalah seseorang yang pemalas. Ia akan meyakini bahwa apapun yang ia lakukan tidak akan di apresiasi sehingga lebih baik ia hidup sesuai dengan penilaian orang lain.
2. Persepsi orang tua terhadap anak
Orang tua merupakan core system bagi seorang anak, ketika orang tua tidak memberikan dukungan melainkan pelabelan pada anaknya, Adapun yang anak lakukan orangtua/orang dewasa lain menganggapnya sebagai pemalas. Walaupun anak berusaha bersikap baik, namun jika label yang buruk sudah tertanam maka apapun hal yang dilakukan akan terkesan buruk. Hal ini membuat anak frustasi dan tidak mau mengulangi perilaku baiknya karena ia menemui kenyataan bahwa berbuat “salah sudah jelas dianggap pemalas, maka berbuat baik pun tidak akan dihargai”.
3. Tindakan orangtua/orang dewasa lain terhadap anak.
Berbekal persepsi negatif tentang anak, akhirnya orang tua/ orang dewasa lainnya menampilkan perilaku yang tidak memberikan peluang bagi anak untuk
memperbaiki dirinya. Misalnya “Sudahlah, tak usah dinasihati lagi, buang waktu
saja. Dia memang malas, sudah dikasih tau”. Akibatnya anak makin tidak tahu
perilaku mana saja yang bisa diterima di masyarakat. Demikian proses ini terjadi
dan terus berulang seperti bola salju.
LABELING DAN PENYIMPANGAN
Teori labeling adalah salah satu pendekatan terpenting untuk memahami perilaku menyimpang dan kriminal. Ini dimulai dengan asumsi bahwa tidak ada tindakan yang secara intrinsik kriminal. Definisi kriminalitas ditetapkan oleh penguasa melalui perumusan undang-undang dan interpretasi undang-undang tersebut oleh polisi, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu, penyimpangan bukanlah seperangkat karakteristik individu atau kelompok, tetapi suatu proses interaksi antara yang menyimpang dan yang tidak menyimpang dan konteks di mana kriminalitas ditafsirkan.
Polisi, hakim, dan pendidik adalah individu yang bertugas menegakkan standar kewajaran dan melabeli perilaku tertentu sebagai perilaku menyimpang. Dengan menerapkan label pada orang dan menciptakan kategori penyimpangan, pejabat ini memperkuat struktur kekuasaan masyarakat. Seringkali, orang kaya mendefinisikan penyimpangan untuk orang miskin, pria untuk wanita, orang tua untuk orang muda, dan kelompok mayoritas ras atau etnis untuk minoritas. Dengan kata lain, kelompok dominan masyarakat membuat dan menerapkan label menyimpang kepada kelompok subordinat.
Banyak anak, misalnya, memecahkan kaca jendela, mencuri buah dari pohon orang lain, memanjat ke halaman tetangga, atau bolos sekolah. Di lingkungan yang makmur, orang tua, guru, dan polisi menganggap perilaku ini sebagai perilaku remaja yang khas. Namun di daerah miskin, perilaku serupa dapat dilihat sebagai tanda kenakalan remaja. Hal ini menunjukkan bahwa kelas memainkan peran penting dalam labeling. Ras juga menjadi faktor.
KETIMPANGAN DAN STIGMA
Penelitian menunjukkan bahwa sekolah mendisiplinkan anak-anak kulit hitam lebih sering dan lebih keras daripada anak-anak kulit putih meskipun kurangnya bukti yang menunjukkan bahwa yang pertama berperilaku buruk lebih sering daripada yang terakhir. tidak bersenjata dan tidak melakukan kejahatan.2 Perbedaan ini menunjukkan bahwa stereotip rasial mengakibatkan kesalahan labeling orang kulit berwarna sebagai menyimpang.
Setelah seseorang diidentifikasi sebagai menyimpang, sangat sulit untuk menghapus label itu. Individu menjadi terstigma sebagai penjahat dan cenderung dianggap tidak dapat dipercaya oleh orang lain. Misalnya, narapidana mungkin berjuang untuk mendapatkan pekerjaan setelah mereka dibebaskan dari penjara karena latar belakang kriminal mereka. Hal ini membuat mereka lebih mungkin untuk menginternalisasi label menyimpang dan, sekali lagi, terlibat dalam perilaku yang salah. Bahkan jika individu berlabel tidak melakukan kejahatan lagi, mereka harus selamanya hidup dengan konsekuensi secara resmi dianggap sebagai pelaku kesalahan.
DAMPAK LABELING TERHADAP KESEHATAN MENTAL
Labeling bisa memicu berbagai dampak untuk kesehatan mental seseorang, seperti berikut ini.
1. Merasa diri kurang berharga
Saat ada label negatif yang melekat, maka rasa rendah diri akan muncul. Label tersebut akan membuat orang percaya bahwa cap yang diberikan orang adalah kenyataan yang harus diterima.
2. Terbawa stigma yang melekat
Label yang melekat, melahirkan sebuah stigma. Seseorang yang diberi stigma negatif, akan merasakan berbagai emosi negatif, seperti malu, rasa bersalah, dan depresi.
3. Membuat seseorang mengisolasi diri dari kehidupan sosial
Segala emosi negatif yang dirasakan tersebut, akan memicu orang yang diberi label, menarik diri dari kehidupan sosial. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara melindungi diri dari berbagai konsekuensi menyakitkan yang akan atau sudah terjadi.Labeling yang berujung pada stigma, bisa berakhir pada diskriminasi pada banyak hal. Labeling negatif bisa membuat seseorang sulit mencari pekerjaan, dianggap sebelah mata oleh orang lain, bahkan lebih rentan menerima persekusi.
4. Rasa percaya diri jadi rendah
Hal-hal negatif yang terjadi tersebut membuat orang yang menerima label negatif, kehilangan kepercayaan diri. Tak hanya pada orang dewasa. Pada anak-anak, hal ini juga bisa terjadi.Sebagai contoh, misalnya ada anak yang salah menjawab pertanyaan di kelas satu kali, lalu guru dan teman-temannya menertawakan dan secara tidak langsung memberikan label bodoh.Hal ini akan membuat anak tidak punya keberanian lagi untuk menjawab pertanyaan guru di depan teman-temannya. Rasa percaya dirinya sudah hilang.
5. Kemampuan tidak berkembang dan tidak bebas melakukan aktivitas
Rasa percaya diri yang sudah hilang, membuatnya juga kehilangan banyak kesempatan, termasuk kesempatan untuk belajar. Dalam jangka panjang, labeling bisa membuat seseorang bukan malas namun malu untuk belajar.Hal ini tentu bisa membuat kemampuannya tidak berkembang dan pada akhirnya, tidak bisa bebas melakukan suatu aktivitas karena keterbatasan kemampuan.
6. Muncul perasaan ditolak
Bagi anak yang mengalami pelabelan negatif ia cenderung berfikir bahwa dirinya ditolak. Pemikiran ini akan berujung pada munculnya rasa minder akan dirinya sendiri. mereka akan cenderung menutup diri pada orang yang memberinya label tersebut bahkan dengan lingkungan luas.
Sumber:
www.thoughtco.com
www.sehatq.com
berkeluarga.id
berdasarkan jurnal:
Ani Lestari dan Khairul Huda, 2021: loving not labelling : dampak negatif labelling terhadap perkembangan bakat dan kreatif anak
Syamsinar, 2019: analisis faktor pengaruh pemberian label (labelling) terhadap minat belajar fisika peserta didik kelas xi ipa sma negeri 3 pangkep