Cara penyelesaian sengketa pada dasarnya sudah ada sejak zaman dahulu mengikuti perkembangan peradaban manusia. Manusia diciptakan tuhan dengan berbagai karakter, ras suku yang berbeda-beda, dengan perbedaan tersebut manusia tidak terlepas dari konflik, baik dengan manusia lainnya, alam lingkungannya, bahkan dengan dirinya sendiri.

Namun dengan akal pikiran manusia akan selalu berusaha untuk mencari bagaimana cara penyelesaian konflik dalam rangka mencapai posisi keseimbangan dan kerukunan hidup di antara sesamanya. Pada dasarnya penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan dua cara, yang biasa digunakan adalah penyelesaian sengketa melalui pengadilan, kemudian dengan perkembangan peradaban manusia berkembang pula penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan menghasilkan suatu keputusan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, karena menghasilkan suatu putusan win lose solution, dengan adanya pihak yang menang dan kalah tersebut, di satu pihak akan merasa puas tapi di pihak lain merasa tidak puas, sehingga dapat menimbulkan suatu persoalan baru di antara para pihak yang bersengketa. Belum lagi proses penyelesaian sengketa yang lambat, waktu yang lama, dan biaya yang relatif lebih mahal. Sedangkan proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, menghasilkan kesepakatan yang “win-win solution” karena penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui kesepakatan dan musyawarah di antara para pihak sehingga dapat menghasilkan suatu keputusan bersama yang dapat diterima baik oleh kedua belah pihak, dan keputusan yang dihasilkan dapat dijamin kerahasiaan sengketa para pihak karena tidak ada kewajiban untuk proses persidangan yang terbuka untuk umum dan dipublikasikan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dinamakan Alternative Dispute Resolution (ADR).

Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan istilah yang pertama kali muncul di Negara Amerika Serikat. Konsep ADR merupakan jawaban atas ketidakpuasan (dissatisfaction) yang muncul di tengah kehidupan masyarakat di Amerika terhadap system pengadilannya. Ketidakpuasan tersebut muncul karena penyelesaian sengketa melalui pengadilan memakan waktu yang cukup lama karena adanya penumpukan perkara di pengadilan, sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar, serta keraguan masyarakat terhadap kemampuan hakim dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat rumit yang memerlukan keahlian tertentu untuk menyelesaikannya. Kerumitan tersebut dapat disebabkan oleh substansi kasus yang sarat dengan persoalan ilmiah (scientifically complicated) atau dapat juga karena banyaknya serta luasnya stake holders yang harus terlibat. Oleh sebab itulah para praktisi hokum dan para akademisi mengembangkan Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai penyelesaian sengketa yang mampu menjembatani kebutuhan masyarakat yang mencari keadilan dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. Di Indonesia, proses penyelesaian sengketa melalui ADR bukanlah sesuatu yang baru dalam nilai-nilai budaya bangsa, karena jiwa dan sifat masyarakat Indonesia dikenal dengan sifat kekeluargaan dan kooperatif dalam menyelesaikan masalah.

Di berbagai suku bangsa di Indonesia biasanya menggunakan cara penyelesaian musyawarah dan mufakat untuk mengambil keputusan. Misalnya saja di batak dalam forum runggun adatnya menyelesaikan sengketa secara musyawarah dan kekeluargaan, di minang kabau, dikenal adanya lembaga hakim perdamaian yang secara umum berperan sebagai mediator dan konsiliator dalam menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi oleh masyarakat setempat. 3 Oleh sebab itu masuknya konsep ADR di Indonesia tentu saja dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.

1. Pengertian Arbitrase

Pada dasarnya, arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa di luar peradilan, berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan.

Arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik, khususnya bagi kalangan pengusaha. Bahkan, arbitrase dinilai sebagai suatu “pengadilan pengusaha” yang independen guna menyelesaikan sengketa yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (untuk selanjutnya disingkat UU No. 30 Tahun 1999) disebutkan bahwa: “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.” Dengan demikian, sengketa seperti kasus-kasus

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).
Sedangkan menurut Subekti bahwa Arbitrase adalah penyelesaian sengketa/perselisihan oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama dipilih oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan.

  • Dari kedua definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa Arbitrase adalah suatu penyelesaian suatu sengketa yang dilakukan:
    Diluar Pengadilan Umum;
    Didasari pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak; dan
    Diadili oleh seseorang atau beberapa orang arbiter yang dipilih secara bersama-sama oleh para pihak yang bersengketa.

2. Kelebihan dan Kelemaha Arbitrase

Kata arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan” (Subekti, 1981: 1 – 3). Jika Anda hanya memerhatikan secara sepintas maka dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seolah-olah memberi petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memerhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak tetapi cukup mendasarkan pada kebijaksanaan. Pandangan tersebut keliru karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.
Dalam memeriksa dan memutus suatu sengketa, arbiter atau majelis arbitrase selalu mendasarkan diri pada hukum, yaitu hukum yang telah dipilih oleh para pihak yang bersengketa (choice of law). Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa para arbiter, apabila dikehendaki oleh para pihak, dapat memutus atas dasar keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono). Dalam Penjelasan UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa jika arbiter diberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa (dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh arbiter.
Jika arbiter tidak diberi kewenangan untuk menjatuhkan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka arbiter hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim.

Kelebihan Arbitrase

Dalam menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase terdapat beberapa keuntungan dibandingkan menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan Umum. Yaitu sebagai berikut :
1. Sidang dalam arbitrase dilakukan tertutup dan tidak dapat diketahui oleh masyarakat umum, sehingga privasi para pihak yang bersengketa sangat terjaga.
2. Hal-hal prosedural dan administratif yang menyebabkan kelambatan dalam penyelesaian sengketa dapat dihindari.
3. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter (wasit) sendiri yang menurutnya mempunyai kompetensi yang mumpuni untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
4. Sikap arbiter dalam menyelesaikan sengketa didasari dengan prinsip yang mengedepankan win-win solution terhadap sengketa yang sedang dihadapi para pihak.
5. Mengenai proses dan tempat untuk menyelesaikan sengketa didasari oleh kesepakatan kepada para pihak yang sedang bersengketa.
6. Suatu perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak menjadi batal karena berakhir atau batalnya perjanjian pokok.
7. Putusan arbitrase bersifat final and binding melalui tata cara yang sederhana dan dapat segera dilaksanakan.
8. Pada prinsipnya, seorang arbiter atau majelis arbitrase selalu mengutamakan perdamaian di antara para pihak.

Kekurangan Arbitrase

1. Kemungkinan hanya baik dan tersedia dengan baik terhadap perusahaan-perusahaan bonafide.
2. Kurangnya unsur finality
3. Kurangnya power untuk menghadirkan barang bukti, saksi, dan lain-lain
4. Kurangnya power untuk law enforcement dan eksekusi keputusan
5. Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat prefentif
6. Kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu sama lain karena tidak ada system “precedent” terhadap keputusan sebelumnya, dan juga karena unsure fleksibilitas dari arbiter. Karena itu keputusan arbitrase tidak predektif
7. Kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa ada norma yang cukup untuk menjaga standar mutu keputusan arbitrase.

3. Contoh Kasus Penyesaian Arbitrase

Indonesia pernah melakukan penyelesaian arbitrase dengan pihak asing. Sengketa tersebut melibatkan 2 perusahaan asing langsung yaitu Churchill Mining dan Planet Mining. Proses arbitrase diselesaikan secara internasional dan dibantu oleh Investor state dispute settlement (ISDS) serta International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID).
Dilansir dari Kumparan, Churchill Mining dan Planet menggugat Pemerintah Indonesia di ICSID sebesar USD 2 miliar akibat serangkaian tindakan Pemerintah Indonesia yang mencabut Kuasa Pertambangan atau Izin Usaha Pertambangan oleh Bupati Kutai Timur. Penggugat berpendapat bahwa Indonesia melanggar ketentuan P4M RI-Inggris.

Dalam proses persidangan, terbukti bahwa Churchill Mining dan Planet Mining melakukan pemalsuan dokumen perizinan, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka menjalankan investasi ilegal. Indonesia memenangkan sengketa ini Churchill Mining dan Planet Mining mendapatkan hukuman dengan membayar ganti rugi biaya perkara kepada Indonesia sebesar USD 8,7 juta.

Sumber:
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52897351a003f/litigasi-dan-alternatif-penyelesaian-sengketa-di-luar-pengadilan/
https://heylawedu.id/blog/arbitrase-sebagai-alternatif-penyelesaian-sengketa

Menyoal Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase Di Indonesia