Kita semua sepakat, bahwa memiliki luka trauma adalah hal yang sangat menyiksa. Kita juga sepakat, bahwa bagi siapapun, pengalaman traumatis merupakan hal yang sangat personal, sehingga tidak bisa seenaknya dibanding-bandingkan. Ada beragam peristiwa yang dapat menyebabkan seseorang mengalami trauma, seperti kehilangan orang tersayang, menjadi korban kekerasan seksual, menjadi sasaran bullying, mengalami kecelakaan yang fatal, dan banyak hal lainnya.
Bila membayangkan apa yang kira-kira akan terjadi setelah seseorang mengalami suatu pengalaman traumatis, barangkali yang pertama terlintas dalam benak kita adalah gambaran seseorang yang tengah tertunduk dengan tangan menutup wajah; menangis; atau menjambak rambut dengan ekspresi kacau. Pun bila menyebutkan hal yang paling erat kaitannya dengan trauma, barangkali depresi, stress, dan berbagai keadaan negatif lainnya-lah yang akan menjadi rentetan jawaban kita.
Memang begitulah faktanya, bahwa selama ini ketika membahas tentang trauma, kita lebih familiar dan lebih banyak menyoroti dampak-dampak buruk yang terjadi setelahnya, atau yang biasa kita kenal dengan istilah Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Namun, tulisan ini bukan hendak berfokus ke sana. Melalui tulisan ini, saya ingin memperkenalkan tentang sebuah fenomena menarik oleh Tedeschi dan Calhoun, yang mengungkap sisi lain dari trauma.
Tedeschi dan Calhoun mengamati tentang apa yang terjadi pada orang-orang yang mengalami kejadian traumatis. Ada fenomena menarik yang perlu kita ketahui, bahwa ternyata setelah seseorang mengalami trauma. Ada yang berhasil bertahan dan justru berada pada kondisi yang lebih bahagia daripada dengan kondisi sebelum mengalami kejadian traumatis. Dengan kata lain, peristiwa traumatis ternyata dapat menjadi semacam batu loncatan bagi seseorang untuk bangkit, untuk memiliki kehidupan yang lebih baik, hingga pada akhirnya menjadikan seseorang berubah dan tumbuh secara positif.
Hal inilah yang kemudian membuat Tedeschi dan Calhoun mengembangkan penelitian lebih jauh tentang bagaimana seseorang bisa mengalami transformasi positif pasca trauma. Kajian tentang transformasi positif pasca trauma ini memiliki istilah Post-Traumatic Growth, yang selanjutnya menjadi salah satu topik kajian dalam Psikologi Positif.
Jadi, Apa itu Post-Traumatic Growth?
Istilah Post-Traumatic Growth merujuk pada keadaan di mana seseorang mengalami transformasi positif sebagai reaksi atas suatu kejadian traumatik. Seseorang yang mengalami Post-Traumatic Growth tidak hanya dapat mengatasi luka traumanya. Lebih dari itu, pengalaman traumatisnya justru membuat diri tumbuh dari luka, menjadikan diri berkembang menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bahagia, dan lebih sejahtera daripada keadaannya sebelum mengalami trauma.
Tedeschi dan Calhoun menjelaskan bahwa indikasi Post-Traumatic Growth adalah adanya kekuatan personal yang mendorong pada sikap lebih mengapresiasi hidup, dapat menemukan cara-cara lain untuk melanjutkan hidup, lebih menghargai hidup dengan berfokus pada hal-hal yang ia anggap penting dalam hidup, dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain, serta adanya perubahan spiritual yang terlihat dari adanya pemahaman baru akan makna dan tujuan hidup.
Sampai di sini kita memahami bahwa pengalaman traumatis seseorang tidak selalu mengarah pada dampak negatif yang berlarut-larut. Alih-alih mengalami dampak negatif, peristiwa traumatis bisa jadi justru membantu seseorang untuk dapat memaknai berbagai hal yang selanjutnya dapat mengembangkan keunikan tersendiri yang sebelumnya tidak ia miliki.
Harapannya, dengan mengetahui bahwa seseorang juga dapat bertumbuh dari luka trauma, semoga hal ini dapat menyalurkan energi positif, memberikan secercah harapan, memberikan jawaban atas kegelisahan dan kebuntuan jalan, hingga menguatkan keyakinan untuk bangkit bagi yang sedang mengalaminya.
Pertanyaannya, apakah mudah untuk bisa mencapai Post-Traumatic Growth? tentu sangat tidak. Bukan hal yang mudah bagi seseorang yang memiliki trauma untuk dapat terbebas dari luka traumanya. Post-Traumatic Growth juga bukan sesuatu yang dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan perlu perjuangan dan usaha serius untuk dapat mewujudkannya. Oleh sebab itulah tidak semua orang bisa mengalami Post-Traumatic Growth dan malah terjebak pada berbagai keadaan negatif akibat trauma yang ia derita.
Lima Hal untuk Mencapai Post-Traumatic Growth
Menerima Keadaan
Penerimaan adalah awal mula dari pemulihan. Hal paling mendasar adalah menumbuhkan penerimaan diri terhadap keadaan, yaitu mau membuka diri, mau mengakui bahwa saat ini diri sedang berada pada kondisi tidak baik-baik saja, dan karenanya ia perlu beranjak. Penerimaan diri menjadi PR yang justru paling sulit karena membutuhkan keberanian untuk melakukannya. Akan tetapi, begitu ia telah mampu menerima diri, pada umumnya proses selanjutnya akan berjalan lebih mudah.
Mengelola Emosi
Kitika seseorang mengalami kejadian traumatis, ia akan terkuasai oleh berbagai emosi negatif. Intensitas emosi yang tinggi akan membuat seseorang sulit untuk berpikir jernih, sehingga perlu pengelolaan emosi. Pengelolaan emosi dapat bermula dengan mengidentifikasi emosi negatif yang masih dirasakan berkaitan dengan trauma. Selanjutnya, untuk dapat mengelola emosi tersebut, ia perlu belajar teknik-teknik pengelolaan emosi, misalnya dengan relaksasi pernapasan, relaksasi otot, dan sebagainya.
Mengelola Pikiran dengan Reflective Thinking
Pikiran-pikiran negatif kita tentang suatu hal belum tentu benar. Bagi orang yang mengalami trauma, kejadian traumatis bisa mengubah bagaimana cara ia menafsirkan sesuatu, hingga kemudian terbentuk pikiran-pikiran yang tidak rasional. Oleh karena itu, seseorang perlu menyadari apa saja pikiran-pikiran negatif yang mengganggu, kemudian belajar untuk mengembangkan pikiran yang lebih rasional.
Pengelolaan pikiran dapat terjadi dengan reflective thinking, yaitu proses seseorang menganalisis dan membuat penilaian tentang apa yang telah terjadi. Tujuannya adalah agar seseorang dapat mengenali kekuatan, mengembangkan relasi, mengapresiasi hidup, melihat kemungkinan atau peluang baru, serta menemukan makna dan tujuan hidup.
Menggunakan Strategi Koping yang Adaptif
Pada umumnya, reaksi seseorang terhadap trauma yang ia miliki adalah cenderung mengalihkan atau menghindar secara terus-menerus. Padahal, hal tersebut bukanlah sebuah solusi yang adaptif. Maka, seseorang perlu mengidentifikasi apakah cara yang ia lakukan dalam menghadapi trauma sudah benar atau belum. Selanjutnya, begitu menyadari bahwa ternyata cara yang ia lakukan tidak adaptif, ia perlu belajar untuk menggantinya dengan cara yang lebih adaptif, cara yang lebih sehat. Misalnya, dengan fokus untuk menerima dan mengelola emosi yang ada, kemudian aktif untuk mencari informasi dan bantuan yang dibutuhkan.
Mencari Support System
Support system atau dukungan sosial adalah salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang agar dapat mengatasi trauma. Ketika dirasa sudah tidak mampu menghadapinya sendiri, maka berusahalah mencari support system yang dapat membantu berjuang. Jangan dulu merasa tidak memiliki support system sebelum berusaha mencari. Ada banyak sekali sumber-sumber yang dapat diusahakan untuk menjadi support system, seperti keluarga, sahabat, orang terdekat, komunitas, atau profesional.
***
Terakhir, pesan untukmu yang saat ini tengah merasakan trauma terhadap apapun itu, jangan biarkan trauma berlama-lama singgah menghantui hidupmu. Walau perjuangan menghadapinya tentu bukan hal yang mudah, yakinkan dirimu bahwa kamu pasti bisa melewatinya, bahkan bertumbuh darinya. Dengan memaknai trauma yang kamu alami, kamu bisa, kok, menjelma menjadi pribadi yang jauh lebih baik dan bahagia. Semangat, ya!